Tuesday, 20 May 2014
Aisyah dan Maisyah
Materi ini diambil dari buku “Aisyah & Maisyah: Persiapan Keuangan Menuju Pelaminan” terbitan GIP. (Dishare melalui akun Twitter Mas Ahmad Gozali, Pakar perencanaan keuangan Syar’i)
*dengan bahasa (diksi) yang sedikit disesuaikan oleh @fachriyaqub
***
Aisyah adalah istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang paling sering dibahas dalam sejarah. Aisyah adalah icon istri idaman para lelaki bujangan. Sementara, maisyah artinya sumber nafkah, api pembakar tungku di dapur, bensin penggerak mesin rumah tangga, perannya kecil tetapi penting.
Aisyah dan maisyah merupakan dua hal yang menjadi faktor tarik-ulur para pemuda di penghujung masa lajangnya. “Aisyah sih sudah ada, tapi maisyahnya belum siap.” Begitu kilah para pemuda ketika ditanya oleh Ustadznya untuk segera menikah. Maka setelah lulus kuliah, para pemudi sudah pasang sign “Yes, I’m ready!” Tapi sayang, para pemuda masih duduk bimbang di pojok masjid.
Pemuda jomblo: “Cari Aisyah dulu apa maisyah dulu ya... pusing ah.”
Coba perhatikan perbincangan di kalangan jomblo saat menghadiri akad nikah atau resepsi pernikahan, di antara para pemuda dan pemudi berbeda topik bahasannya. Para pemudi colek pengantin, tanya bagaimana perasaannya, kenal di mana, dan sebagainya. Sementara, pemuda colek pengantin dan tanya “Abis biaya berapa lu?”
Di sinilah para pemuda harus diluruskan pemahamannya. Mereka menunda menikah hanya karena alasan belum ada biaya untuk resepsi yang mahal. Wahai para pemuda, ketahuilah bahwa semahal-mahalnya biaya resepsi, masih bisa nego, juga masih bisa patungan. Tapi semurah-murahnya biaya hidup setelah menikah, itu tanggungjawabmu sendiri sebagai suami!
Saya ulangi: “Semahal apapun biaya resepsi, bisa nego dan patungan. Tapi semurah apapun biaya hidup, harus dari kantong sendiri”. Maka benahi prioritasmu, mengusahakan maisyah bukan untuk biaya resepsi, tetapi untuk biaya hidup mandiri sesudah menikah. Jadi kalau nabung abis-abisan buat pesta besar lalu kemudian setelah itu numpang sama mertua, itu namanya TER.. LA.. LU..!! Tunda pernikahan dengan alasan belum punya dana buat resepsi, tapi malah ngabisin duit buat pacaran sana sini, itu namanya TER.. LA.. LU..!!
Tapi bagaimana kalau emang buat biaya hidup saja sepertinya belum cukup? Silakan baca Al-Qur'an surat ke 24 ayat 32 bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman "Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.“ (24:32).
Hanya dengan menikah saja, Allah berikan rezeki.. apalagi kalau setelah menikah menjadi tambah tanggung jawab, tambah semangat berusaha.
Tapi bagaimana kalau calon mertua yang minta pesta pernikahan seperti ini itu? | Statusnya masih camer kan? Kalau gak sanggup, berarti gak jodoh! Simple! Lulus kuliah alasannya belum kerja, sudah kerja alasannya belum karyawan tetap. Sudah diangkat, ada lagi alasan ini itu lainnya.
Nunggu mapan baru nikah? Apa nikah agar menjadi mapan?
Belum punya rumah, belum punya kendaraan, belum punya gaji tinggi. Itu cuma alasan! Yang benar adalah belum punya nyali!
Kalau Anda menunggu mapan agar bisa menarik hati wanita agar mau dinikahi, kira-kira apa ya alasannya dia mau? Istilah Sakinah-Mawaddah-Warahmah: Damai-Cinta-Kasih ini adalah tangga urutan tiada kasih tanpa cinta dan tiada cinta tanpa damai. Sakinah-Mawaddah-Warahmah itu hadir setelah menikah. Sakinah itu artinya damai, tenang, mapan. Artinya mapan baru hadir setelah menikah.
Jadi, mantapkan niat, ubah prioritas keuangan untuk hidup setelah menikah bukan untuk resepsi mewah.
—
“Maisyah udah ada, tapi Aisyah belum ketemu.” Itu juga alasan. Yang benar adalah belum ketemu nyali untuk mencari Aisyah". Untuk para pemuda, jangan tunggu mapan. Yang penting berpenghasilan dan sanggup bertanggungjawab menafkahi istri. Sementara untuk para pemudi, jangan tunggu pemuda tampan berkuda putih menjemputmu. Siapkan diri juga secara finansial. Siap start dari NOL!
Oke, niat sudah mantap. Aisyah sudah siap, maisyah sedang dijemput.
Pada bahasan selanjutnya akan dibahas mengenai Ta'aruf & Seleksi (tetap dari kacamata keuangan ya!)
Boleh gak sih pertimbangkan harta dari calon suami/istri? Boleh saja, tapi jangan jadikan sebagai pertimbangan utama ya. Ingat rumus:
Agama = 1
Fisik = 0
Keturunan = 0
Harta = 0, dan
lain-lain nilainya 0 juga.
Coba urutkan kriteria tersebut untuk dapat nilai yang tinggi.
Kalo kriterianya: Ganteng+Baik Hati+Darah Biru+Kaya Raya+Agama OK, maka nilainya 00001. Alias 1 saja. Coba kriterianya diubah, Agamanya OK+Cantik/Ganteng+Pinter+Keturunan Baik-Baik+Kaya Raya, nilainya 10000. Maka, makin banyak 0 makin bagus!
Oke dilanjut, seleksi sudah clear ya.. pakai rumus 1+0+0+0...
Sekarang kita bahas ta'aruf alias “perkenalan”.
Ingat pepatah bilang, “Tak kenal, maka ta’aruf” sehingga ini menjadi tahap yang penting juga lho.
Apa yang perlu dikenal dari calon pasangan? Intinya sih penghasilan, gaya hidup, hutang,... Tapi bagaimana cara tanya yang elegan?
Banyak pemudi yang ragu kalau harus tanya “Emang gajimu berapa?”. Tak sedikit pula pemuda yang tidak mau terbuka kecuali ditanya.
Pertanyaan cewe matre kayak gini: “Mo ngasi makan apa lo berani ngelamar?” | Tapi kalau cewe solehah begini: “Jelaskan, bagaimana caramu membawa makanan halal dalam rumah kita?”
Luruskan niat, tanya penghasilan bukan karena matre. Tapi, minta kepastian bahwa hanya lelaki bertanggungjawab yang boleh menikahimu. Luruskan niat, cerita tentang maisyah bukan karena sombong, melainkan untuk meyakinkan calonmu bahwa hanya harta halal yang akan dibawa pulang ke rumah.
“Malu mau jujur kasih tahu, gajiku kan kecil, nanti ditolak...” Ada yang beralasan begini?
Jika Anda ditolak karena dianggap penghasilannya kecil, berbahagialah karena Anda telah diselamatkan dari bahaya yang sangat besar. Bayangkan seperti apa jadinya rumah tangga yang kelak dibangun jika Anda mengaku berpenghasilan besar agar diterima mertua. Sungguh bahaya yang sangat besar menanti di depan jika kondisinya demikian.
Jangan bandingkan fasilitas calon suami (yang baru beberapa bulan/tahun kerja) dengan fasilitas orang tua di rumah (yang sudah puluhan tahun). Maka wajar kalau harus ngontrak di rumah dalam gang becek, gak ada ojek. Start bersama dari 0 itu lebih nikmat, jadi kenangan sampe tua.
JANGAN NILAI CALONMU DARI PENGHASILANNYA SEKARANG. TAPI NILAILAH IA DARI POTENSINYA DI MASA YANG AKAN DATANG.
Menunda pernikahan karena masalah keuangan akan membuat Anda terjerumus pada masalah keuangan yang lebih besar di masa depan. Masuk usia pensiun, anak masih belum lepas nafkah, melahirkan anak di usia lebih dari 35 tahun berisiko tinggi, dan asuransi menjadi lebih mahal serta kondisi atau permasalahan lainnya yang mungkin muncul.
So, ayo para pemuda dan pemudi mulai sekarang atur ulang prioritasmu dan niatkan semua yang akan dijalani ini semata-mata untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Friday, 16 May 2014
Satu Jam Ekstra!
Para pekerja di Jakarta dan sekitarnya rela menambah waktu kerja mereka beberapa jam di pagi hari dan beberapa jam di malam hari, sekadar untuk pergi dan pulang kerja. Jutaan orang melakukan ini dan tanpa disadari telah berlangsung cukup lama. Mereka terpaksa melakukannya karena harus tiba di tempat kerja tepat waktu - di tengah kemacetan jalan yang terus memburuk. Seandainya saja mereka dengan sukarela mau meluangkan waktu satu jam ekstra di waktu yang lain bisa jadi hasilnya akan jauh berbeda.
Satu jam ekstra ini adalah waktu sahur untuk menunaikan shalat malam, waktu terbaik untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada-Nya. Bila kita rela membuang waktu kita beberapa jam setiap hari di jalan raya, mengapa kita tidak melakukannya secara sukarela menggunakan satu jam saja di waktu sahur untuk bangun, sholat, dan berdoa? Satu jam untuk shalat malam adalah waktu yang cukup untuk bisa menikmati rakaat demi rakaat dan sujud menghadap Sang Maha Pencipta di shalat malam kita. Waktu yang cukup untuk mengungkapkan segala kegalauan hati kita kepada-Nya, memohon pertolongan, dan solusi atas segala permasalahan hidup kita.
Pada umumnya, kita rela bangun lebih pagi dan pulang lebih malam untuk bisa memenuhi disiplin kerja kita di kantor dengan imbalan gaji bulanan dan bonus bagi kita serta karir untuk masa depan kita. Tetapi, kantor kita bisa saja tidak mampu memenuhi janji tersebut – tergantung kondisi perusahaan atau instansi tempat kita bekerja.
Di sisi lain, ada yang menjanjikan satu jam ekstra kita dengan janji yang pasti dipenuhi dan bukan hanya janji untuk kepentingan dunia saja melainkan juga hingga kepentingan akhirat kita – jaminan karir dunia akhirat! Karena yang berjanji adalah Dia Yang Maha Menepati Janji. Janji ini dikabarkan antara lain melalui hadits berikut: "Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam." (HR. Muslim)
Dalam sejarah, banyak bukti nyata yang menunjukkan telah dipenuhi janji-Nya kepada orang-orang yang secara konsisten melakukan shalat malam. Salahuddin Al-Ayyubi berani berangkat menaklukkan (kembali) Jerusalem dan berhasil – setelah dia mendapati pasukannya melakukan shalat malam di tenda-tendanya. Muhammad Al-Fatih tidak pernah meninggalkan shalat malamnya sejak dia baligh, sekitar separuh dari pasukannya-pun melakukan hal yang sama. Hasilnya adalah penaklukkan Konstantinopel dengan strategi perang yang tidak terbayangkan sebelumnya – bahkan sulit terulang untuk zaman modern ini sekalipun.
Kini, kita memang tidak sedang berperang secara fisik melawan siapapun, namun justru kondisi inilah yang membuat kita ‘kalah’ dalam berbagai ‘medan peperangan’ yang bersifat sistematis dan terselubung. Kita sedang ‘kalah’ dalam peperangan pemikiran dan budaya sehingga sebagian besar dari kita harus bekerja dengan irama yang membuat kita sulit untuk dapat menunaikan shalat lima waktu dengan khusyu’ dan tepat waktu. Bagaimana bisa shalat tepat waktu dengan khusyu’ bila waktu adzan Maghrib dan Isya’ masih di tengah kemacetan lalu lintas?
Kita ‘kalah’ dengan sistem kapitalisme ribawi yang mendominasi perekonomian kita sehingga untuk urusan jaminan sosial dan jaminan kesehatan para pekerja – mereka dipaksa secara hukum untuk menerima yang riba. Kita ‘kalah’ dalam perang ekonomi di mana sekitar separuh penduduk negeri ini berdaya beli kurang dari US$ 2 per hari. Padahal, kondisi ini baru sekitar 1/5 dari standar nishab zakat 40 ekor domba!
Ironisnya, kita juga ‘kalah’ dalam sistem demokrasi – yang seharusnya kita bisa dan mampu untuk memang, namun umat muslim yang banyak di negeri ini tidak dapat berbuat banyak bahkan demokrasi ini telah menjadi tragedi yang memecah belah umat menjadi banyak golongan. Umat bukan hanya dipecah antar partai, bahkan dalam satu partai-pun para pendukung caleg A bisa berpecah dengan pendukung caleg B. Jamaah shalat di masjid-masjid-pun menjadi kaku hubungan antar sesamanya di musim pemilu karena sebagian mendukung partai A dan sebagian yang lain Golput atau mendukung partai lain.
Dalam skala pribadi-pun kita lebih banyak ‘kalah’ dengan sistem yang ada ketika kita berusaha membangun usaha yang bebas riba, riswah, dan sejenisnya. Kita sering ‘kalah’ ketika berusaha membangun lingkungan kerja yang bersih dari apa-apa yang tidak diridloi-Nya. Maka banyak sekali ‘peperangan-peperangan’ yang masih harus kita menangkan, sedangkan kita amatlah lemah kecuali bila kita bisa menghadirkan pertolongan-Nya. Shalat malam adalah salah satu jalan yang dapat kita tempuh untuk menghadirkan pertolongan-Nya dalam setiap kesulitan dan jalan buntu yang kita temui.
Perencanaan kita terbatas dan usaha kita pun sulit untuk mencapai maksimal, maka hanya dengan kehadiran dan pertolonganNya-lah yang bisa menyempurnakan segala usaha kita. Bila untuk ini diperlukan 1 jam ekstra di waktu sahur, apakah terlalu berat? Apakah terlalu berat untuk membiasakan bangun dan shalat malam sekitar pukul tiga dini hari untuk satu jam saja, sedangkan kita punya begitu banyak waktu tidur di jam-jam yang lain? Kita bisa tidur dalam perjalanan pergi dan pulang kantor selama berjam-jam. Kita bisa juga membiasakan tidur satu jam lebih awal dari biasanya agar nanti bisa bangun pukul tiga dan dengan berbagai cara lain yang bisa kita tempuh untuk mendapatkan waktu satu jam ekstra yang amat sangat berharga tersebut.
Tidak hanya berharga untuk kehidupan kita di dunia, tetapi juga yang lebih utama tentu untuk kehidupan kita di waktu yang tidak terbatas – yaitu di akhirat kelak. Shalat malam kitalah yang insyaAllah bisa membuat Allah tersenyum. “Ketahuilah, sesungguhnya Allah tersenyum terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu’ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu dan takut dari apa yang ada di sisi-Mu pula.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.” (HR. Ahmad).
Dari Nu’aim bin Hammar: “Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Syuhadaa’ apa yang paling utama?”. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang apabila masuk di barisan perang/jihad, maka mereka akan memfokuskan wajah-wajah mereka hingga terbunuh. Mereka itulah orang-orang yang pergi menempati kamar-kamar di surga yang tinggi. Rabb mereka tersenyum kepada mereka. Dan apabila Rabb mu tersenyum kepada seorang hamba di dunia, maka ia kelak tidak akan dihisab.” (HR. Ahmad).
Mari kita luangkan satu jam di malam hari untuk membuat Allah tersenyum selagi kita hidup di dunia ini agar kita juga bisa terus tersenyum di dunia ini sampai datang masa kehidupan akhirat nanti. Kita sudah rela membuang waktu kita berjam-jam setiap hari untuk berbagai aktivitas kita yang lain, mengapa tidak meluangkan yang satu jam di waktu sahur ini untuk beribadah dan memohon pertolongan-Nya? InsyaAllah, kita bisa!
Sumber: Ditulis oleh Muhaimin Iqbal (dengan editing seperlunya)
Satu jam ekstra ini adalah waktu sahur untuk menunaikan shalat malam, waktu terbaik untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada-Nya. Bila kita rela membuang waktu kita beberapa jam setiap hari di jalan raya, mengapa kita tidak melakukannya secara sukarela menggunakan satu jam saja di waktu sahur untuk bangun, sholat, dan berdoa? Satu jam untuk shalat malam adalah waktu yang cukup untuk bisa menikmati rakaat demi rakaat dan sujud menghadap Sang Maha Pencipta di shalat malam kita. Waktu yang cukup untuk mengungkapkan segala kegalauan hati kita kepada-Nya, memohon pertolongan, dan solusi atas segala permasalahan hidup kita.
Pada umumnya, kita rela bangun lebih pagi dan pulang lebih malam untuk bisa memenuhi disiplin kerja kita di kantor dengan imbalan gaji bulanan dan bonus bagi kita serta karir untuk masa depan kita. Tetapi, kantor kita bisa saja tidak mampu memenuhi janji tersebut – tergantung kondisi perusahaan atau instansi tempat kita bekerja.
Di sisi lain, ada yang menjanjikan satu jam ekstra kita dengan janji yang pasti dipenuhi dan bukan hanya janji untuk kepentingan dunia saja melainkan juga hingga kepentingan akhirat kita – jaminan karir dunia akhirat! Karena yang berjanji adalah Dia Yang Maha Menepati Janji. Janji ini dikabarkan antara lain melalui hadits berikut: "Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam." (HR. Muslim)
Dalam sejarah, banyak bukti nyata yang menunjukkan telah dipenuhi janji-Nya kepada orang-orang yang secara konsisten melakukan shalat malam. Salahuddin Al-Ayyubi berani berangkat menaklukkan (kembali) Jerusalem dan berhasil – setelah dia mendapati pasukannya melakukan shalat malam di tenda-tendanya. Muhammad Al-Fatih tidak pernah meninggalkan shalat malamnya sejak dia baligh, sekitar separuh dari pasukannya-pun melakukan hal yang sama. Hasilnya adalah penaklukkan Konstantinopel dengan strategi perang yang tidak terbayangkan sebelumnya – bahkan sulit terulang untuk zaman modern ini sekalipun.
Kini, kita memang tidak sedang berperang secara fisik melawan siapapun, namun justru kondisi inilah yang membuat kita ‘kalah’ dalam berbagai ‘medan peperangan’ yang bersifat sistematis dan terselubung. Kita sedang ‘kalah’ dalam peperangan pemikiran dan budaya sehingga sebagian besar dari kita harus bekerja dengan irama yang membuat kita sulit untuk dapat menunaikan shalat lima waktu dengan khusyu’ dan tepat waktu. Bagaimana bisa shalat tepat waktu dengan khusyu’ bila waktu adzan Maghrib dan Isya’ masih di tengah kemacetan lalu lintas?
Kita ‘kalah’ dengan sistem kapitalisme ribawi yang mendominasi perekonomian kita sehingga untuk urusan jaminan sosial dan jaminan kesehatan para pekerja – mereka dipaksa secara hukum untuk menerima yang riba. Kita ‘kalah’ dalam perang ekonomi di mana sekitar separuh penduduk negeri ini berdaya beli kurang dari US$ 2 per hari. Padahal, kondisi ini baru sekitar 1/5 dari standar nishab zakat 40 ekor domba!
Ironisnya, kita juga ‘kalah’ dalam sistem demokrasi – yang seharusnya kita bisa dan mampu untuk memang, namun umat muslim yang banyak di negeri ini tidak dapat berbuat banyak bahkan demokrasi ini telah menjadi tragedi yang memecah belah umat menjadi banyak golongan. Umat bukan hanya dipecah antar partai, bahkan dalam satu partai-pun para pendukung caleg A bisa berpecah dengan pendukung caleg B. Jamaah shalat di masjid-masjid-pun menjadi kaku hubungan antar sesamanya di musim pemilu karena sebagian mendukung partai A dan sebagian yang lain Golput atau mendukung partai lain.
Dalam skala pribadi-pun kita lebih banyak ‘kalah’ dengan sistem yang ada ketika kita berusaha membangun usaha yang bebas riba, riswah, dan sejenisnya. Kita sering ‘kalah’ ketika berusaha membangun lingkungan kerja yang bersih dari apa-apa yang tidak diridloi-Nya. Maka banyak sekali ‘peperangan-peperangan’ yang masih harus kita menangkan, sedangkan kita amatlah lemah kecuali bila kita bisa menghadirkan pertolongan-Nya. Shalat malam adalah salah satu jalan yang dapat kita tempuh untuk menghadirkan pertolongan-Nya dalam setiap kesulitan dan jalan buntu yang kita temui.
Perencanaan kita terbatas dan usaha kita pun sulit untuk mencapai maksimal, maka hanya dengan kehadiran dan pertolonganNya-lah yang bisa menyempurnakan segala usaha kita. Bila untuk ini diperlukan 1 jam ekstra di waktu sahur, apakah terlalu berat? Apakah terlalu berat untuk membiasakan bangun dan shalat malam sekitar pukul tiga dini hari untuk satu jam saja, sedangkan kita punya begitu banyak waktu tidur di jam-jam yang lain? Kita bisa tidur dalam perjalanan pergi dan pulang kantor selama berjam-jam. Kita bisa juga membiasakan tidur satu jam lebih awal dari biasanya agar nanti bisa bangun pukul tiga dan dengan berbagai cara lain yang bisa kita tempuh untuk mendapatkan waktu satu jam ekstra yang amat sangat berharga tersebut.
Tidak hanya berharga untuk kehidupan kita di dunia, tetapi juga yang lebih utama tentu untuk kehidupan kita di waktu yang tidak terbatas – yaitu di akhirat kelak. Shalat malam kitalah yang insyaAllah bisa membuat Allah tersenyum. “Ketahuilah, sesungguhnya Allah tersenyum terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu’ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu dan takut dari apa yang ada di sisi-Mu pula.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.” (HR. Ahmad).
Dari Nu’aim bin Hammar: “Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Syuhadaa’ apa yang paling utama?”. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang apabila masuk di barisan perang/jihad, maka mereka akan memfokuskan wajah-wajah mereka hingga terbunuh. Mereka itulah orang-orang yang pergi menempati kamar-kamar di surga yang tinggi. Rabb mereka tersenyum kepada mereka. Dan apabila Rabb mu tersenyum kepada seorang hamba di dunia, maka ia kelak tidak akan dihisab.” (HR. Ahmad).
Mari kita luangkan satu jam di malam hari untuk membuat Allah tersenyum selagi kita hidup di dunia ini agar kita juga bisa terus tersenyum di dunia ini sampai datang masa kehidupan akhirat nanti. Kita sudah rela membuang waktu kita berjam-jam setiap hari untuk berbagai aktivitas kita yang lain, mengapa tidak meluangkan yang satu jam di waktu sahur ini untuk beribadah dan memohon pertolongan-Nya? InsyaAllah, kita bisa!
Sumber: Ditulis oleh Muhaimin Iqbal (dengan editing seperlunya)
Apa Sih Tolok Ukur Keberhasilan Rumah Tangga?
Sebagian besar masyarakat mengatakan, terdapat dua hal yang jika terjadi maka rumah tangga tersebut terbilang sukses, yakni mempunyai anak dan banyak harta.
Bukan. Bukan itu.
Pertama, rumah tangga 'Aisyah radhiallaahu 'anha tidak dikaruniai anak, lalu apakah kita akan berkata suami-istri tersebut tidak harmonis? Tidak bahagia?
Kedua, rumah tangga Fatimah radhiallaahu 'anha sangat minim harta. Sang istri pernah menahan laparnya selama beberapa hari hingga kuninglah wajah beliau. Lalu, apakah kita berani mengatakan bahwa rumah tangga mereka hancur berantakan diujung tombak? Tidak. Bahkan suami beliau adalah salah satu penghuni surga Allah. Maa syaa'Allah.
Benar, sebagai seorang istri janganlah dengan mudah untuk menuntut kalimat perpisahan hanya karena kedua hal di atas. Sebab, ummahatul mukminin tidak pernah memberatkan suaminya dengan perkataan tercela. Juga, sebagai seorang suami janganlah mudah mengatakan "Aku tak punya harta, aku tak pantas untukmu, duhai istriku". Innalillaahi wa inna ilayhi raaji'un. Tahu kah para suami, kalimat tersebut justeru enggan didengar oleh istri kalian. Karena dalam kondisi tersebut, para sahabat tidak tercermin dalam diri mereka sifat keputus-asaan.
Seyogyanya, tolok ukur keberhasilan rumah tangga seorang muslim ialah:
- Ketika setelah menikah, maka bertambahlah taqwa mereka kepada Allah.
- Ketika setelah menikah, maka bertambahlah amalan-amalan sunnah mereka.
- Ketika setelah menikah, bertambahlah hafalan-hafalan mereka.
- Ketika setelah menikah, bertambahlah kesabaran mereka dalam setiap takdir Allah.
- Ketika setelah menikah, bertambahlah ghiroh mendatangi majelis-majelis ilmu Allah.
- Pun, ketika setelah menikah, bertambah takutlah mereka sebab mengingat hari di mana mereka akan terpisah dan menghadap sidang Rabb-nya yang paling adil. Bertambah berharaplah mereka kepada Rabb-nya agar dapat dipertemukan dan dinikahkan kembali dalam jannah Allah tanpa hisab. Amin yaa Rabbal 'alamin.
Sumber: Grup WA (dengan bahasa yang disesuaikan)
*Silakan buat temen-temen jika ada yang tahu sumber utamanya dari siapa, bisa diinfokan ke @fachriyaqub. Nanti akan diperbaharui sumber atau referensinya.
Bukan. Bukan itu.
Pertama, rumah tangga 'Aisyah radhiallaahu 'anha tidak dikaruniai anak, lalu apakah kita akan berkata suami-istri tersebut tidak harmonis? Tidak bahagia?
Kedua, rumah tangga Fatimah radhiallaahu 'anha sangat minim harta. Sang istri pernah menahan laparnya selama beberapa hari hingga kuninglah wajah beliau. Lalu, apakah kita berani mengatakan bahwa rumah tangga mereka hancur berantakan diujung tombak? Tidak. Bahkan suami beliau adalah salah satu penghuni surga Allah. Maa syaa'Allah.
Benar, sebagai seorang istri janganlah dengan mudah untuk menuntut kalimat perpisahan hanya karena kedua hal di atas. Sebab, ummahatul mukminin tidak pernah memberatkan suaminya dengan perkataan tercela. Juga, sebagai seorang suami janganlah mudah mengatakan "Aku tak punya harta, aku tak pantas untukmu, duhai istriku". Innalillaahi wa inna ilayhi raaji'un. Tahu kah para suami, kalimat tersebut justeru enggan didengar oleh istri kalian. Karena dalam kondisi tersebut, para sahabat tidak tercermin dalam diri mereka sifat keputus-asaan.
Seyogyanya, tolok ukur keberhasilan rumah tangga seorang muslim ialah:
- Ketika setelah menikah, maka bertambahlah taqwa mereka kepada Allah.
- Ketika setelah menikah, maka bertambahlah amalan-amalan sunnah mereka.
- Ketika setelah menikah, bertambahlah hafalan-hafalan mereka.
- Ketika setelah menikah, bertambahlah kesabaran mereka dalam setiap takdir Allah.
- Ketika setelah menikah, bertambahlah ghiroh mendatangi majelis-majelis ilmu Allah.
- Pun, ketika setelah menikah, bertambah takutlah mereka sebab mengingat hari di mana mereka akan terpisah dan menghadap sidang Rabb-nya yang paling adil. Bertambah berharaplah mereka kepada Rabb-nya agar dapat dipertemukan dan dinikahkan kembali dalam jannah Allah tanpa hisab. Amin yaa Rabbal 'alamin.
Sumber: Grup WA (dengan bahasa yang disesuaikan)
*Silakan buat temen-temen jika ada yang tahu sumber utamanya dari siapa, bisa diinfokan ke @fachriyaqub. Nanti akan diperbaharui sumber atau referensinya.
Subscribe to:
Posts (Atom)